Arsip Berita
Di Pengajian Shubuh Mushola Al-Iman Selong Lombok Timur, Hakim PA Selong Bahas Pengangkatan Anak
Fahrurrozi menyampaikan pengajian shubuh di Mushola Al-Iman Lingkungan Seruni Selong, Senin (7/10/2019)
Lombok Timur ǀ pa.selong.go.id
Seorang hakim Pengadilan Agama (PA) Selong, H. Fahrurrozi, SHI., MH. menyampaikan pengajian seusai shalat Shubuh di Mushola Al-Iman Lingkungan Seruni Selong Lombok Timur, Senin (7/10/2019). Tema yang dibahas kali ini mengenai pengangkatan anak atau adopsi.
“Perkara pengangkatan anak atau adopsi, dalam bahasa Arab disebut tabanni, merupakan kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah,” paparnya.
Dijelaskan Fahrurrozi, bahwa yang dimaksud perkawinan menurut penjelasan pasal tersebut adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang dilakukan menurut syariah, antara lain penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
“Pengangkatan anak itu sangat dianjurkan dalam Islam karena menolong sesama manusia, termasuk amal sholih. Jadi, motivasinya adalah beribadah. Dengan begitu, beralih kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, memelihara dan mendidik dari orang tua kandung kepada orang tua angkatnya,” katanya.
Akan tetapi, sambungnya, pengangkatan anak tidak merubah status anak angkat menjadi anak kandung dan tidak memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Perubahan yang terjadi hanyalah perpindahan tanggung jawab pemeliharaan dan pendidikan dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya.
Ayah dari Fayad dan Ausam itu menjelaskan bahwa hubungan orang tua angkat dan anak angkat diatur dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab, Ayat 4, 5 dan 37. Allah menegaskan dalam Ayat 4, Allah tidak menjadikan anak-anak angkat itu sama seperti anak-anak kandung sendiri.
“Antara orang tua angkat dengan anak angkat tetap orang lain, tidak ada hubungan darah. Demikian juga antara anak angkat dengan saudara-saudara angkatnya. Kalau anak angkatnya perempuan, saat masih kecil tidak apa-apa diciumi dan dipeluk oleh ayah angkatnya, tetapi setelah baligh (dewasa) hubungan mahram berlaku. Anak angkat harus menutup aurat di depan ayah angkatnya dan juga di depan saudara-saudara angkat laki-laki,” tegasnya.
Lebih lanjut, Fahrurrozi mengingatkan kepada jamaah shalat Shubuh bahwa ayah angkat atau saudara angkat laki-laki tidak berhak menjadi wali nikah untuk anak angkat perempuan. Yang berhak menjadi wali nikah anak angkat adalah ayah kandungnya, kakek kandungnya, saudara kandungnya atau paman kandungnya.
Selain itu, oleh karena tidak sama antara anak angkat dengan anak kandung sebagaimana dinyatakan Allah dalam Surat Al-Ahzab Ayat 4, maka orang tua angkat tidak boleh menyematkan namanya di belakang nama anak angkatnya.
“Surat Al-Ahzab Ayat 5 berbunyi Ud’uuhum li-Aabaaihim. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Sebelum turun ayat ini, anak angkat Nabi Muhammad SAW. yang bernama Zaid biasa dipanggil Zaid bin Muhammad. Ayat ini turun sebagai petunjuk agar memanggil anak angkat itu dengan memakai nama ayah kandungnya, sehingga menjadi Zaid bin Haritsah. Jadi, bin atau binti anak angkat tetap kepada orang tua kandungnya. Di Kartu Keluarga dan Akta Lahir, anak angkat tidak boleh ditulis anak dari orang tua angkatnya,” terang Hakim asal Pati Jawa Tengah itu.
Fahrurrozi kemudian membacakan Surat Al-Ahzab Ayat 37 beserta artinya. Disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Haritsah telah bercerai dengan istrinya, Zainab, tak lama kemudian Allah menikahkan Nabi dengan bekas istri anak angkatnya.
“Pernikahan Rasulullah dengan bekas istri anak angkatnya atau bekas menantu angkatnya menunjukkan bahwa ayah angkat tidak ada larangan untuk menikah dengan bekas istri anak angkat apabila anak angkat itu telah bercerai dengan istrinya. Dari sini, semakin jelaslah kedudukan anak angkat itu, yang tidak sama dengan anak kandung. Yang dilarang adalah seorang ayah menikah dengan bekas istri anak kandung atau menantu sebagaimana dinyatakan dalam Surat An-Nisa Ayat 23. Sementara anak angkat karena tidak sama dengan anak kandung, maka bagi ayah angkat, menikahi bekas istri anak angkatnya itu boleh,” jelasnya.
Ditambahkan lagi, bahwa ketidaksamaan lainnya antara anak angkat dengan anak kandung, yaitu anak angkat tidak berhak mendapat warisan atau harta peninggalan dari ayah angkatnya.
“Atas nama waris, anak angkat tidak mendapat bagian harta warisan dari orang tua angkat karena bukan ahli warisnya. Tetapi demi keadilan, selama ini Pengadilan Agama selalu memberikan bagian dari harta orang tua angkat kepada anak angkat sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya melalui mekanisme wasiat wajibah, dan itu diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam,” pungkasnya. (flambu)